Jumat, 30 November 2012

Sejarah Bendera Indonesia Merah Putih





Bendera nasional Indonesia adalah sebuah bendera berdesain sederhana dengan dua warna yang dibagi menjadi dua bagian secara mendatar (horizontal). Warnanya diambil dari warna Kerajaan Majapahit. Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji merah putih.

Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII.

Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.

Di jaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.

Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda.

Bendera yang dinamakan Sang Merah Putih ini pertama kali digunakan oleh para pelajar dan kaum nasionalis pada awal abad ke-20 di bawah kekuasaan Belanda. Setelah Perang Dunia II berakhir, Indonesia merdeka dan mulai menggunakan bendera ini sebagai bendera nasional.


Sang Saka Merah Putih merupakan julukan kehormatan terhadap bendera Merah Putih negara Indonesia. Pada mulanya sebutan ini ditujukan untuk bendera Merah Putih yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, saat Proklamasi dilaksanakan. Tetapi selanjutnya dalam penggunaan umum, Sang Saka Merah Putih ditujukan kepada setiap bendera Merah Putih yang dikibarkan dalam setiap upacara bendera.

Bendera pusaka dibuat oleh Ibu Fatmawati, istri Presiden Soekarno, pada tahun 1944. Bendera berbahan katun Jepang (ada juga yang menyebutkan bahan bendera tersebut adalah kain wool dari London yang diperoleh dari seorang Jepang. Bahan ini memang pada saat itu digunakan khusus untuk membuat bendera-bendera negara di dunia karena terkenal dengan keawetannya) berukuran 276 x 200 cm. Sejak tahun 1946 sampai dengan 1968, bendera tersebut hanya dikibarkan pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan RI. Sejak tahun 1969, bendera itu tidak pernah dikibarkan lagi dan sampai saat ini disimpan di Istana Merdeka. Bendera itu sempat sobek di dua ujungnya, ujung berwarna putih sobek sebesar 12 X 42 cm. Ujung berwarna merah sobek sebesar 15x 47 cm. Lalu ada bolong-bolong kecil karena jamur dan gigitan serangga, noda berwarna kecoklatan, hitam, dan putih. Karena terlalu lama dilipat, lipatan-lipatan itu pun sobek dan warna di sekitar lipatannya memudar.

Setelah tahun 1969, yang dikerek dan dikibarkan pada hari ulang tahun kemerdekaan RI adalah bendera duplikatnya yang terbuat dari sutra. Bendera pusaka turut pula dihadirkan namun ia hanya 'menyaksikan' dari dalam kotak penyimpanannya.


Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti berani, putih berarti suci. Merah melambangkan tubuh manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan untuk Indonesia.

Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula jawa/gula aren dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba.
Kisah Hidup Ilyas Karim Sang Pengibar Bendera Pusaka

Di usianya yang ke-81, pria sepuh itu masih tetap menikmati hidupnya di pinggir rel Kalibata, Jakarta Selatan. Pria yang kini menderita stroke mata itu seharusnya bisa hidup lebih layak. Sebab, pria bernama Ilyas Karim adalah pelaku sejarah penting. Dialah pengibar pertama Sang Saka Merah Putih pada 17 Agustus 1945 lalu.

Anda tentu pernah melihat foto upacara pengibaran Bendera Merah Putih pertama kali di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta Pusat. Di foto itu tampak dua orang pengibar bendera yang dikelilingi oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ibu Fatmawati, dan SK Trimurti. Pemuda pengibar bendera yang bercelana pendek itulah Ilyas Karim.
Saat ini Ilyas tinggal di sebuah rumah sederhana di Jl. Rawajati Barat, Kalibata, Jakarta Selatan, bersebelahan dengan rel kereta api, Selasa (12/8/2008) kemarin, Ilyas masih tampak bugar. Meski gerak badannya tidak segesit dulu, namun dia tidak tampak bungkuk ataupun tergopoh ketika berjalan.
Ilyas menceritakan pengalamannya sebagai pengibar bendera Merah Putih pertama di republik ini. Waktu itu, Ilyas adalah seorang murid di Asrama Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Menteng Jakarta Pusat. Malam hari sebelum dibacakan proklamasi kemerdekaan RI, Ilyas beserta 50-an teman dari API diundang ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No. 56.
“Katanya ada acara gitu,” tutur Ilyas.
Saat berkumpul di rumah Soekarno itulah Sudanco (Komandan Peleton) Latief menunjuknya untuk menjadi pengibar bendera di acara proklamasi kemerdekaan keesokan harinya. Satu orang pengibar yang lain yang ditunjuk adalah Sudanco Singgih, seorang tentara PETA. “Saya ditunjuk karena paling muda. Umur saya waktu itu 18 tahun,” kata Ilyas.
Ilyas menceritakan pengalaman itu dengan penuh semangat. Matanya yang harus diplester agar tidak terpejam tampak berbinar. Ilyas memang menderita stroke mata. Dokter menganjurkannya untuk memlester kelopak matanya agar tidak terpejam. Sudah berbagai upaya pengobatan ditempuhnya namun belum juga membuahkan hasil.
Meski dengan sakitnya itu, Ilyas tetap aktif beraktivitas. Sejak tahun 1996 dia menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia yang memiliki cabang di 14 propinsi, antara lain di Medan, Riau, Jambi, Palembang, Banten, dan Ambon.
“Saya akan diganti tahun 2009 nanti,” kata Ilyas.
Yayasan itu sendiri bergerak di bidang sosial. Kegiatannya antara lain penyantunan anak yatim, pembangunan rutempat ibadah, dan penyantunan orang jompo.
Ilyas lahir di Padang, Sumbar. Dia sekeluarga baru menetap di Jakarta pada 1936. Ayahnya dulu seorang camat di Matraman. Di zaman penjajahan Jepang, ayahnya dibawa ke Tegal dan dieksekusi tentara Jepang. Sejak saat itu, Ilyas menjadi yatim.
Setelah pengibaran Sang Saka Merah Putih itu, Ilyas kemudian menjadi tentara. Pada 1948, Ilyas dan sejumlah pemuda di Jakarta diundang ke Bandung oleh Mr Kasman Singodimejo. Di Bandung, dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kesatuan tentara ini kemudian ini nama Siliwangi. Nama Siliwangi merupakan usul dari Ilyas.
Sebagai tentara, Ilyas pernah diterjunkan di sejumlah medan pertempuran di berbagai daerah, termasuk ditugaskan sebagai pasukan perdamaian di Libanon dan Vietnam. Pada 1979, Ilyas pensiun dengan pangkat letnan kolonel. Kehidupannya mulai suram, karena dua tahun kemudian dia diusir dari tempat tinggalnya di asrama tentara Siliwangi, di Lapangan Banteng, Jakpus. Sejak saat itu hingga saat ini dia tinggal di pinggir rel KA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar